Langsung ke konten utama

Lima Hal yang Perlu Orangtua Ketahui untuk Meredam Keinginan Marah pada Anak

 Hampir semua orang tua rasanya pernah marah pada anak. Namun, saat Anda sedang marah pada anak, pernahkah Anda berhenti sejenak di sela-sela kemarahan untuk bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apakah saat ini Anda harus marah, atau sekadar ingin marah?



        Hal ini karena ternyata antara ‘harus marah’ dengan ‘ingin marah’ terdapat perbedaan yang sangat jauh. “Harus marah’ bertujuan untuk meluruskan sikap atau perilaku anak agar kembali sesuai norma. Sementara ‘ingin marah’ biasanya hanya untuk pelampiasan orang tua terhadap kekesalannya di tempat lain. Salah satu contoh perbuatan ‘ingin marah’ orang tua adalah marah pada anak berkepanjangan waktunya. Saat sebenarnya anak sudah mengerti kesalahannya dalam waktu semenit, tapi Anda memarahinya hingga seperempat jam. Atau anak bisa memahami kesalahannya dalam waktu sepuluh menit, namun Anda masih mengungkit-ungkit lagi kesalahan anak tadi di siang atau sore harinya.

    Yang jadi masalah, banyak orang tua yang tidak menyadari, ia tengah berada di wilayah mana, apakah ‘harus marah’ atau ‘ingin marah’. Untuk itulah orang tua penting memiliki manajemen marah saat berhadapan dengan anak. Terutama agar marah tersebut tidak menjadi sesuatu yang disesali. Berikut ini lima hal yang perlu Anda ketahui agar mampu meredam keinginan marah pada anak, yang saya rangkum untuk Anda.

1.      Hapus persepsi bahwa anak adalah obyek kemarahan

Tak jarang soal marah pada anak ini terjadi bermula ketika Anda selaku orang tua memiliki pandangan bahwa anak hanyalah satu makhluk kecil dengan otak yang masih bodoh. Mereka belum mengerti sehingga Anda merasa harus memberitahu untuk membuat mereka mengerti. Persepsi inilah yang biasanya memunculkan pandangan bahwa anak sebagai obyek yang harus diajarkan tentang segala sesuatu. Pandangan ini berujung pada sikap orang dewasa yang merasa diri selalu benar, sementara anak harus tunduk patuh kepadanya. Apabila Anda selaku orangtua mempertahankan persepsi ini, maka jangan heran bila kemudian akan terus menerus timbul beragam konflik dengan anak.

 2.      Mengingat potensi dahsyat anak

Sesungguhnya pendapat bahwa anak makhluk mungil bodoh yang tidak mengerti apa-apa, adalah sebuah kesalahan besar. Secara sempurna Tuhan YME telah melengkapi anak-anak mungil ini dengan kemampuan dahsyat yang tak pernah bisa dimiliki ulang oleh orang dewasa manapun. Sekadar untuk bisa tersenyum saja, otak harus mempelajari sebuah aktivitas yang rumit. Apalagi untuk bisa memahami kata-kata kemudian merangkainya menjadi sebuah kalimat yang memiliki arti. Para ilmuwan bahkan memerkirakan, jika proses belajar berbicara ini harus dilakukan oleh seseorang dewasa yang awalnya belum bisa berbicara sama sekali, maka belum tentu akan bisa berproses sebaik otak para bayi cerdas ini. Oleh karena itu, sangatlah salah jika Anda menganggap anak-anak kecil sebagai makhluk yang bodoh. Benar bahwa cara berpikir mereka belum seruntut cara berpikir orang dewasa, namun ide-ide anak-anak seringkali begitu brilian dan bahkan tidak terduga oleh orang dewasa.

 3.      Pastikan tujuan Anda marah pada anak hanya untuk mendidik

Dalam proses mendidik anak, sangat wajar jika Anda kadangkala marah pada anak. Namun, jadikanlah marah ini sebagai upaya terakhir. Jika pembelajaran dengan peringatan yang lembut telah dilanggar berkali-kali oleh anak, maka pada saat ini Anda penting untuk marah pada anak dengan tujuan untuk mendidik. Akan tetapi kemarahan Anda pada saat tersebut baiknya menetapkan target yang sederhana, yaitu tercapainya pengertian anak bahwa dirinya telah berbuat kesalahan. Tak perlu tetapkan target berlebihan, semisal target agar anak mau berubah saat itu juga, adalah satu hal yang mustahil, karena untuk memperbaiki diri pasti membutuhkan waktu.

 4.      Jika terpaksa marah, maka marahlah dengan dialog

Perkembangan anak secara psikologis mengalami pergeseran dari dunia kanak-kanak menuju dunia remaja. Semasa dalam dunia kanak-kanak, mereka belajar cepat dari apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Namun, setelah remaja segala berubah. Mereka mulai punya keinginan sendiri dan berharap orang lain menghargai pilihannya. Para remaja ini juga merasa sudah dewasa, sehingga tak mau lagi digurui dan dinasihati orang tua. Masalah akan timbul jika Anda selaku orang tua tidak mengubah gaya komunikasi dengan tetap menganggap mereka seperti masa kanak-kanak. Para remaja ini besar kemungkinan akan menjadi anak yang pandai membantah dan senantiasa meminta diberikan alasan yang rasional. Jika kondisi ini terjadi, maka tak ada jalan lain Anda menyampaikan keberatan Anda pada sikap anak remaja Anda dengan dialog yang tidak menggurui.

 5.      Orang tua harus lebih cerdas emosi ketimbang anak

Seringkali seorang anak marah dengan cara yang destruktif adalah untuk menguji respon orang tuanya. Bisa jadi ia sekadar mengikuti ego nya , atau mungkin ia mencontoh perilaku temannya. Namun, sesungguhnya mereka menunggu respon Anda untuk mereka teladani. Jika Anda merespon dengan kemarahan pula, maka anak akan merasa lega karena ia merasa cara yang telah dilakukannya telah ‘benar’. Jika demikian, sang anak pun tak akan merasa bersalah jika lain kali mengulanginya kembali. Sebaliknya, ketika Anda selaku orang tua merepon kemarahan anak dengan kelembutan, maka kelembutan itulah yang akan dicontoh oleh anak nantinya. Hal ini karena anak akan termotivasi untuk menghentikan cara marahnya yang destruktif itu, dan menggantinya dengan perilaku yang lebih santun.

Demikianlah lima hal yang perlu Anda ketahui sebagai orang tua guna meredam keinginan marah pada anak, semoga bermanfaat!

 

*Praktisi media literasi dan perlindungan anak

*ilustrasi:https://id.pinterest.com/pin/745416175810676994/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspada Gim daring: Kenali Modus dan Ketahui Pencegahannya

 Dunia maya memang memiliki daya tarik yang kuat pada siapa pun, tak terkecuali anak-anak. Salah satu yang membuat anak-anak asik berlama-lama di dunia maya, adalah mereka mengakses gim daring ( game online) . Anda perlu waspadai fenomena ini. Mengingat, selain gim daring ini dapat memicu anak menjadi kecanduan internet/ gawai , sehingga membuat aktivitas di dunia nyatanya menjadi terbengkalai, kontennya yang bisa jadi sarat akan kekerasan, juga karena gim daring kini  sudah menjadi modus para predator anak menyasar korbannya. Salah satu contoh kasus kejahatan pemangsa anak melalui gim ini terjadi pada tahun 2021 melalui aplikasi Free Fire . Hasil penyidikan polisi terungkap, bahwa pelaku memang menyasar anak perempuan sebagai pengguna gim. Saat bermain bersama dengan sang anak itulah, pelaku meminta nomor WA dan mulai membujuk korbannya untuk membuat video tanpa busana dengan menawari korban uang gim daring Free Fire sebanyak 500-600 diamond yang akan dikirim ke akun korban...

Budaya Valentine Day di Kalangan Remaja yang Perlu Orang Tua Waspadai

  Setiap pertengahan bulan Februari, tepatnya tanggal 14 masyarakat manca negara banyak yang merayakannya sebagai hari Valentine ( Valentine’s Day ), termasuk di negara kita. Hari Valentine dimaknai oleh banyak orang sebagai hari kasih sayang. Namun, muda-mudi mengekspresikannya secara beragam. Mulai dari saling berkirim kartu ucapan hari Valentine, memberikan atau bertukar hadiah, memberi bunga atau cokelat, hiasan berwarna merah muda ( pink) dan berbentuk hati, makan malam bersama dengan pacar, pesta dansa, hingga hubungan intim.   Sungguh hal ini yang perlu menjadi perhatian para orang tua.                                    Yang tambah membuat miris, ternyata ditemukan fakta di lapangan bahwa setiap perayaan hari Valentine bukan hanya penjualan cokelat meningkat tetapi juga penjualan kondom! Kondisi ini membuat salah satu pemeritah kota bahkan sampai membuat imbauan agar...

Anak Anda tidak Kunjung Mandiri? Berikut 5 (Lima) Perlakuan Salah Orang Tua yang Perlu Jadi Perhatian Anda!

                “Usia anak lelaki saya sudah 30 tahun, tapi ia bukan anak mandiri karena masih selalu mengandalkan saya. Setiap hari, kerjanya hanya menonton  televisi dan bermain gadget. Tak pernah membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah, bankan sekadar mengganti bohlam lampu,” keluh seorang ibu.   Ketika keluhan seperti terjadi, siapakah pihak yang bertanggungjawab? Jawabannya adalah orang tua itu sendiri. Mengapa? Karena mereka yang pertama kali menanamkan tentang sikap, nilai, dan juga bertanggung jawab atas pola asuh anaknya. Berikut ini lima hal yang sering dilakukan orang tua sehari-hari yang justru mendorong anak menjadi tidak mandiri yang perlu jadi perhatian Anda!                            1. Memaksa anak menghentikan aktivitasnya Saat usia prasekolah, anak mulai menggemari kegiatan mengasyikkan yang terfokus pada dirinya. Contoh, ia...