Langsung ke konten utama

Menjadi Orang Tua yang Siap Memberi Dukungan Psikologis Awal

 

Dalam tumbuh kembang anak dan interaksinya dengan lingkungan sosial di sekitarnya, tak jarang membuat anak stres atau depresi. Baik karena perbedaan pola asuh, karakter, atau kebiasaan. Dapat juga stres atau depresi pada anak ini terjadi karena adanya perubahan kebiasaan yang tiba-tiba, misalnya: kecelakaan, bencana alam atau adanya pandemi COVID-19 yang memaksa semua orang beraktivitas dari rumah hampir dua tahun lamanya. Akibat perubahan yang mendadak ini, banyak dari anak yang stres karena tidak dapat bertemu teman sebayanya, mengobrol, dan bermain bersama, atau karena situasi di rumahnya yang kurang kondusif akibat tekanan ekonomi akibat pencari nafkah utama kehilangan mata pencaharian, atau sakit, hingga adanya anggota keluarga yang meninggal dunia akibat COVID-19. Untuk melalui tantangan semacam ini, Anda sebagai orang tua dapat mengantisipasinya dalam bentuk dukungan psikologis awal (DPA). Apa dan bagaimana DPA itu? Berikut uraiannya yang telah saya rangkum untuk Anda, semoga bermanfaat!

Apa itu DPA?

            DPA adalah sejumlah keterampilan sederhana yang dilakukan terencana dengan tujuan mengurangi akibat negatif dari suatu masalah sekaligus membantu pemulihan psikologis seseorang. Dalam konteks anak yang stres akibat pandemi COVID-19, Anda sebagai orang tua dapat mengupayakan langkah-langkah tertentu, sehingga anak atau anggota keluarga lainnya dapat tetap berpikir positif, sabar, dan tetap produktif meskipun semua aktivitas di lakukan dari rumah.

Hal serupa juga dilakukan untuk anak yang stres/depresi atau terganggu mentalnya karena sebab lain, seperti mengalami kekerasan/perundungan, kecelakaan lalu lintas, dan bencana Alam. Adapun dalam memberikan dukungan psikologis awal ini, Anda perlu melakukannya dalam tiga langkah yang dikenal dengan 3 (tiga) L, yaitu look, listen, dan link.

Look (Melihat/Mengamati)

            Langkah pertama dalam DPA adalah look (melihat/mengamati), maksudnya Anda dapat menggunakan indera penglihatan Anda dan pengalaman Anda selama ini berinteraksi dengan anak, untuk mengenali apakah ada sesuatu yang berbeda dari perilaku anak. Terutama, Anda berupaya mengenali jika anak mendekati Anda dan terlihat sedang membutuhkan bantuan Anda.

Dalam tahap ini, penting Anda memastikan anak untuk tenang, memberinya minum atau makanan kesukaannya, dan mencari tempat aman dan nyaman bagi anak dan jauh dari hal yang membuatnya stres atau depresi. Kepekaan Anda sangat dibutuhkan dalam langkah awal ini. Untuk itu, lakukanlah dengan penuh empati dan perhatian serius. Jangan langsung memberikan penilaian negatif kepada anak. Sebaiknya Anda dapat membedakan reaksi yang muncul karena bosan atau karena stres. Untuk mencegah anak merasa bosan, Anda dapat menyiapkan beberapa permainan.

Sedangkan untuk anak yang mengalami stres, Anda dapat melihatnya dari beberapa ciri-ciri berikut ini: mengeluh sakit pada anggota tubuh (sakit kepala, sakit perut), menolak menatap mata (menunduk terus), menggigit kuku, menangis, menghisap jempol, mengeluh ingin pergi ke toilet terus menerus, berkeringat, tidak fokus dan sulit berkonsentrasi, perhatian mudah terlalihkan, melintir-lintirkan baju atau jari-jari tangan, uring-uringan, mudah kesal dan mengamuk, mengompol, badan tampak kaku dan pundak kelihatan tegang, tidak ada senyum sama sekali.

Adapun untuk memastikan anak dalam situasi yang aman dan nyaman, Anda dapat menjaga suara Anda tetap dalam keadaan tenang, bertanya kepada anak tentang perasaannya saat itu, mengajak anak bermain, dan juga mengajaknya mengatur napas untuk relaksasi.

Listen (Mendengar Aktif)

            Langkah kedua yang bisa Anda lakukan dalam memberikan dukungan psikologis awal kepada anak adalah mendengar aktif. Mendengar aktif ini berbeda dengan mendengar biasa. Maksudnya, dalam langkah mendengar aktif, Anda benar-benar memusatkan seluruh perhatian Anda untuk menyimak, menyerap, dan memahami hal-hal yang disampaikan anak kepada Anda. Tujuan dari mendengar aktif terutama agar Anda bisa memberikan tanggapan atau respon yang tepat kepada anak.

            Menjadi pendengar aktif, itu juga berarti Anda tidak menggurui, tidak memberikan nasihat/ceramah, tidak memberikan penilaian, tidak mengalihkan perhatian anak, tidak menghakimi, mencela, atau menyalahkan anak. Yang Anda lakukan dalam mendengar aktif adalah bersikap menerima pandangan anak, berusaha memahaminya, dan mendorongnya untuk berkomunikasi/bercerita lebih lanjut serta membantunya dengan menawarkan alternatif solusi dari permasalahan yang dihadapi anak.

            Selain itu, yang juga perlu Anda lakukan dalam tahap mendengar aktif ini adalah tetaplah Anda berada di dekat anak, namun jangan memaksanya untuk segera bercerita. Cukup Anda dengarkan bila anak mau bercerita tentang kejadian yang dialaminya, kemudian bantu anak untuk tetap tenang, jika Anda lihat anak gelisah. Yakinkan anak bahwa ia tidak sendiri, melainkan Anda selalu ada untuknya. Sementara untuk merespon cerita anak yang tepat, Anda dapat mengatakan,”Apakah kamu bisa menjelaskan kejadiannya lebih rinci?”, “Ooh, baik. Lalu?”, “Ya… Ibu paham, teruskan Nak!”, “Adakah yang masih ingin kamu ceritakan kepada Ibu?”

Link (Merujuk)

            Tahap ketiga dalam DPA adalah link atau merujuk. Maksudnya, apabila dari dua tahap sebelumnya yaitu mengamati dan mendengar aktif ternyata anak belum juga tenang atau masih menunjukan gejala stres atau gangguan kesehatan mental lainnya, saatnya Anda perlu merujuk anak kepada ahlinya, yaitu psikolog/psikiater, konselor, atau dokter ahli jiwa. Dalam DPA, pada prinsipnya Anda sebagai orang tua adalah semacam UGD bagi anak dan/atau anggota keluarga lain di rumah. Anda belum tentu dapat memecahkan/menangani masalah kesehatan mental anak, namun dengan DPA setidaknya Anda dapat tahu dan berempati pada masalah anak, sehingga mengurangi beban anak. Namun jika ternyata alternatif solusi yang Anda tawarkan dapat efektif mengatasi permasalahan anak, justru akan lebih baik lagi.

            Untuk membantu Anda menjalankan tahap link (merujuk) ini, Anda perlu melengkapi diri dengan informasi pusat-pusat/unit penanganan kesehatan mental terdekat dengan tempat tinggal Anda, misalnya: puskesmas, klinik, atau rumah sakit. Anda dapat juga menghubungi Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang ada di kota Anda, karena di sana biasanya juga ada konselor sosial, atau psikolog yang bisa membantu Anda.

            Demikian dukungan psikologis awal yang bisa Anda lakukan kepada anak dan anggota keluarga lain di rumah. Keterampilan ini sesungguhnya pada awalnya hanya khusus untuk para profesional di bidang kesehatan mental seperti psikolog, psikiater, dan dokter ahli jiwa. Namun, melihat terjadinya peningkatan yang signifikan terhadap orang-orang yang membutuhkan dukungan psikologis awal saat pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu, maka pemerintah merasa perlu untuk juga melatih orang tua, guru, aktivis perlindungan anak, dan pendidik teman sebaya (peer educater) keterampilan tentang DPA ini.

Oleh karena itu, kesempatan ini sangat baik Anda manfaatkan terutama untuk menjaga anak dan orang-orang yang Anda kasihi mendapat dukungan psikologis awal saat mereka mengalami gangguan kesehatan mental. Selamat mencoba!

* Praktisi perlindungan anak dan literasi media

** Sumber ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/112730796921895906/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspada Gim daring: Kenali Modus dan Ketahui Pencegahannya

 Dunia maya memang memiliki daya tarik yang kuat pada siapa pun, tak terkecuali anak-anak. Salah satu yang membuat anak-anak asik berlama-lama di dunia maya, adalah mereka mengakses gim daring ( game online) . Anda perlu waspadai fenomena ini. Mengingat, selain gim daring ini dapat memicu anak menjadi kecanduan internet/ gawai , sehingga membuat aktivitas di dunia nyatanya menjadi terbengkalai, kontennya yang bisa jadi sarat akan kekerasan, juga karena gim daring kini  sudah menjadi modus para predator anak menyasar korbannya. Salah satu contoh kasus kejahatan pemangsa anak melalui gim ini terjadi pada tahun 2021 melalui aplikasi Free Fire . Hasil penyidikan polisi terungkap, bahwa pelaku memang menyasar anak perempuan sebagai pengguna gim. Saat bermain bersama dengan sang anak itulah, pelaku meminta nomor WA dan mulai membujuk korbannya untuk membuat video tanpa busana dengan menawari korban uang gim daring Free Fire sebanyak 500-600 diamond yang akan dikirim ke akun korban...

Budaya Valentine Day di Kalangan Remaja yang Perlu Orang Tua Waspadai

  Setiap pertengahan bulan Februari, tepatnya tanggal 14 masyarakat manca negara banyak yang merayakannya sebagai hari Valentine ( Valentine’s Day ), termasuk di negara kita. Hari Valentine dimaknai oleh banyak orang sebagai hari kasih sayang. Namun, muda-mudi mengekspresikannya secara beragam. Mulai dari saling berkirim kartu ucapan hari Valentine, memberikan atau bertukar hadiah, memberi bunga atau cokelat, hiasan berwarna merah muda ( pink) dan berbentuk hati, makan malam bersama dengan pacar, pesta dansa, hingga hubungan intim.   Sungguh hal ini yang perlu menjadi perhatian para orang tua.                                    Yang tambah membuat miris, ternyata ditemukan fakta di lapangan bahwa setiap perayaan hari Valentine bukan hanya penjualan cokelat meningkat tetapi juga penjualan kondom! Kondisi ini membuat salah satu pemeritah kota bahkan sampai membuat imbauan agar...

Anak Anda tidak Kunjung Mandiri? Berikut 5 (Lima) Perlakuan Salah Orang Tua yang Perlu Jadi Perhatian Anda!

                “Usia anak lelaki saya sudah 30 tahun, tapi ia bukan anak mandiri karena masih selalu mengandalkan saya. Setiap hari, kerjanya hanya menonton  televisi dan bermain gadget. Tak pernah membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah, bankan sekadar mengganti bohlam lampu,” keluh seorang ibu.   Ketika keluhan seperti terjadi, siapakah pihak yang bertanggungjawab? Jawabannya adalah orang tua itu sendiri. Mengapa? Karena mereka yang pertama kali menanamkan tentang sikap, nilai, dan juga bertanggung jawab atas pola asuh anaknya. Berikut ini lima hal yang sering dilakukan orang tua sehari-hari yang justru mendorong anak menjadi tidak mandiri yang perlu jadi perhatian Anda!                            1. Memaksa anak menghentikan aktivitasnya Saat usia prasekolah, anak mulai menggemari kegiatan mengasyikkan yang terfokus pada dirinya. Contoh, ia...