Sisi
baru saja lulus sekolah dasar. Sisi senang sekali, karena berhasil lulus dengan
nilai terbaik dan juga lolos diterima di salah satu SMP favorit di kotanya. Pekan
depan Sisi akan mulai bersekolah di SMP idamannya tersebut. Jarak dari rumah ke
sekolah baru Sisi, sekitar 3 (tiga) km. Ada angkutan kota (angkot) yang
biasanya digunakan oleh para siswa dan siswi SMP itu untuk menuju ke sana. Ini
merupakan pengalaman baru bagi Sisi. Sebelumnya, Sisi biasa berjalan kaki saja
ke sekolahnya karena cukup dekat dari rumah.
“Bu,
mulai pekan depan, Sisi pergi dan pulang sekolah naik angkot, sendiri ya,”
pinta Sisi pada Ibu yang sedang menyiapkan makan malam.
“Memang
Sisi, berani? Biasanya 'kan, Sisi naik angkot bersama Ibu, ayah, atau kak Luna
dan kak Selin,” ujar ibu sambil duduk di samping Sisi.
“Sisi
berani, Bu. Sisi sudah kelas satu SMP. Malah, Didi teman Sisi sudah biasa naik
angkot sejak kelas empat SD loh, Bu. Masa, Sisi kalah dari Didi. Padahal Sisi
kan, lebih tinggi dari Didi,” sahut Sisi sambil berdiri mengukurkan tangannya ke
lemari yang ada di ruang makan. Memang kini Sisi sudah hampir menyamai lemari jati
yang tingginya kira-kira 160 cm.
Ibu
tersenyum mendengar Sisi yang sangat bersemangat sekali ingin pergi ke sekolah
sendiri. “Baiklah, Sisi. Ibu izinkan Sisi pergi dan pulang sekolah, naik angkot
sendiri. Akan tetapi, untuk hari pertama, Ibu antar ya, agar Sisi bisa lihat
caranya, sehingga nanti bisa melakukan sendiri dengan benar. Kebetulan Ibu juga
akan ke sekolahmu karena diminta Kepala Sekolah menghadiri hari pertama kamu
masuk SMP. Bagaimana?” tanya ibu.
“Baik
Bu. Siap! Sisi hari pertama bersama Ibu, tetapi selanjutnya Sisi akan naik
angkot sendiri, ya! Terimakasih, Ibu,” ujar Sisi sambil memeluk ibunya dengan
sukacita.
“Wah,
ada apa Sisi peluk-peluk ibu? Pasti ada maunya, nih” tanya Selin yang kebetulan
baru bergabung di ruang makan.
“Ini
loh, Kak Selin, Sisi gembira karena ibu mengizinkan Sisi naik angkot sendiri ke
sekolah. Sisi kan, sudah besar,” jawab Sisi sambil menegapkan badannya dengan
sikap sempurna.
“Iya,
betul Kamu memang bongsor. Badanmu tinggi, tapi kan pengalamanmu masih cetek. Hati-hati loh, di angkot itu, isinya
bukan cuma orang baik-baik. Ada juga copet, pemangsa anak-anak, atau pengamen
yang maksa minta uang. Nah, itu kamu harus pikirkan, juga ya,” ujar Selin
mengingatkan Sisi.
“Oh,
begitu, ya, Kak? Kak Selin pernah ketemu copet, pemangsa anak atau pengamen
yang maksa-maksa itu di angkot? Trus, Kak Selin apakan mereka? Dilaporkan ke
polisi, ya?” tanya Sisi antusias ingin tahu.
“Nah,
benar kan, Kamu masih lugu. Mana ada sih, copet, ngaku kalo dia copet. Begitu juga penculik anak. Untuk itu, kita yang
perlu waspada bila naik angkot. Selain itu, sebaiknya Sisi naik angkot tidak sendiri.
Ajak teman-teman untuk naik angkot bersama. Tujuannya, agar copet dan pemangsa
anak itu, tidak berani bertindak jahat pada kita. Akan tetapi, bila terpaksa
naik angkot sendiri dan bertemu dengan orang-orang yang mencurigakan, segera
turun di perhentian berikutnya. Tidak mengapa kita rugi ongkos, yang penting
selamat. Setelah itu, kita bisa melapor kepada polisi atau guru terkait copet atau pemangsa anak yang kita lihat itu,” ujar Kak Selin memberi saran
panjang lebar pada Sisi.
“Siap,
Kak Selin! Terimakasih masukannya, ya. Sisi berjanji akan berhati-hati jika
naik angkot ke sekolah. Semoga juga, Sisi segera dapat teman sehingga bisa pergi
dan pulang sekolah bersama-sama,” ujar Sisi sambil tersenyum membayangkan naik
angkot bersama teman-temannya, dan berjanji dalam hati untuk selalu mengingat
pesan dari Selin, kakaknya.
Ibu
membenarkan saran kak Selin, sambil membelai rambut Sisi. Tak lama ayah dan kak
Luna ikut bergabung. Merekapun kemudian melanjutkan percakapan sambil makan
malam bersama sekeluarga.
**
Sepekan
naik angkot ke sekolah, Sisi sudah akrab dengan teman-teman seperjalanannya.
Ada Doni, Reni, Mita, Fani, Sony, dan Lala. Bahkan Sisi sudah mengalami peristiwa
menegangkan di angkot. Saat itu, ada empat orang dewasa naik angkot. Keempat
orang itu tertawa-tawa keras, dan sikapnya mencurigakan di mata Sisi. Saat itu,
semua temannya sudah turun dari angkot kecuali Lala dan Sisi. Sisi pun memberi
kode kepada Lala, untuk turun di halte berikutnya.
“Halte
di depan, kiri ya, Pak!” teriak Sisi kepada pak Supir.
“Wah,
kok buru-buru turun, Dik? Padahal Om baru mau ajak kenalan,” ujar seseorang
yang berbaju biru.
“Iya, nih. Kenalan dulu, yuk dengan kami. Kami
ga gigit kok!,” sahut seseorang yang berkaos
hitam disambut tawa oleh teman-temannya yang lain.
Sisi
mengeratkan genggaman tangannya pada Lala. Begitu angkot menepi, tanpa menunggu
lagi, kedua anak itu segera turun. Kemudian setelah membayar ongkos angkot, mereka
berduapun segera berlalu dan pergi menjauh dari angkot tersebut.
“Sisi,
terimakasih ya, sudah mengajak aku ikut turun. Orang-orang tadi memang agak
menyeramkan ya, sepertinya mereka bukan orang baik-baik,” ujar Lala dengan
wajah cemas.
“Ya,
Lala. Aku sudah pernah dipesankan kak Selin, untuk turun saja dari angkot jika
ada orang-orang mencurigakan. Itu lebih aman, ketimbang berujung celaka,” jawab
Sisi sambil bersyukur dalam hati karena kak Selin sudah pernah mengingatkannya.
Lala pun mengangguk, membenarkan tindakan Sisi. Kemudian mereka berdua
meneruskan sisa perjalanan dengan berjalan kaki.
Kali
yang lain, Sisi mengalami kejadian yang tak terduga. Suatu kali ia berangkat
lebih pagi karena ada piket kelas. Tak berapa lama, angkot yang Sisi tunggu pun
datang. Selain supir, ada seorang ibu yang tengah hamil besar duduk di samping
pak supir.
“Wah, pagi sekali Kakak berangkat sekolah. Petugas
piket kelas, ya?” tanya sang ibu.
“Betul,
Bu. Hari ini saya bertugas piket. Makanya saya berangkat lebih pagi ke sekolah,”
sahut Sisi bersemangat.
“Waduh,
sepertinya saya harus isi bensin dulu, nih. Ga
masalah kan, Neng?” tanya pak Supir kepada Sisi.
“Ya,
Pak. Ga apa-apa, Pak. Masih pagi,
kok,” jawab Sisi sambil melirik jam tangannya,yang menunjukan waktu pukul
06.05. Masih cukup waktu untuk piket sebelum mulai pelajaran pukul 06.30 nanti,
pikir Sisi.
“Sekolahnya, masih jauh, Kak?” tanya si ibu lagi
pada Sisi
“Lumayan,
Bu. Setelah perempatan di depan, nanti lanjut terus sampai bertemu pertigaan di
depan komplek PLN. Nah, saya turun di situ. Nanti saya tinggal menyebrang jalan
dan masuk ke dalam sekitar 200 meter,” jawab Sisi sambil menunjuk jalanan di
depannya.
“Wah,
kalau begitu, kita antar saja kakak ini, sampai ke depan sekolah, ya, Pak.
Kasihan kalau sampai kesiangan, padahal masih harus bertugas piket,” ujar sang
ibu kepada pak Supir.
Pak
supir pun mengangguk sambil tersenyum mananggapi permintaan sang ibu tersebut. Sisi
sebenarnya agak bingung dengan sikap pak supir mau saja menuruti permintaan ibu
itu. Namun, Sisi memilih diam, dan justru bersyukur dalam hati karena ia jadi
bisa lebih cepat tiba di sekolah. Mobil angkot pun melaju hingga berhenti
persis di depan pagar sekolah. Sisi pun turun dan memberikan uang ongkos kepada
pak supir.
“Sudah,
tidak perlu, Kak. Kali ini gratis. Ibu dan Bapak senang melihat Kakak yang
rajin sekolah. Semoga anak di dalam kandungan ibu, kelak juga rajin seperti
Kakak. Hari ini kami sebenarnya mau ke rumah sakit, untuk cek kehamilan,” ujar
si ibu. Sementara pak supir mengiyakan sambil tersenyum. Olala, mereka ternyata pasangan suami istri. Sisi terharu dengan
kebaikan hati pasangan itu, dan segera mengucapkan terimakasih.
Selain
pengalaman naik angkot lebih pagi, Sisi juga pernah naik angkot kesiangan. Ini
terjadi akibat malam sebelumnya, ia tidur terlambat karena mengerjakan tugas
prakarya menggambar batik.
“Ayo,
naik saja, Nak. Ga masalah ya, sempit
sedikit, yang penting kamu bisa terangkut,” ujar seorang ibu yang menggunakan
baju setelan training yang duduk dekat pintu, mengajak Sisi masuk ke angkot
yang ditumpanginya.
Awalnya
Sisi ragu. Namun, karena waktu sudah beranjak siang, akhirnya Sisi naik juga.
Sisi baru menyadari bahwa isi angkot itu ternyata dipenuhi oleh ibu-ibu yang menggunakan
setelan training yang sama dengan ibu yang pertama mengajaknya naik angkot.
“Tolong
antar anak ini ke halte dekat sekolahnya dulu, ya, Pak Supir. Ga apa-apa nanti kami tambahkan
ongkosnya. Kasihan anak ini, nanti terlambat kalau tidak kita antar,” ujar ibu
yang mengajak Sisi tadi.
Astaga, ternyata Sisi naik angkot yang telah disewa ibu-ibu kelompok senam
jantung sehat. Sisi bersyukur sekali, dan tak henti-hentinya mengucapkan
terimakasih kepada ibu-ibu di dalam angkot tersebut. Namun, sejak saat itu Sisi
pun bertekad untuk tidak lagi berangkat kesiangan.
Sisi
juga mendapat pelajaran saat lalai menyimpan onkos angkot dengan benar. Selama
ini, Sisi menyimpan uang jajan dan ongkos pulang naik angkot di dalam tas
ranselnya. Namun, untuk ongkos berangkat, dia biasa menggenggamnya saja. Sampai
pada suatu hari uang Sisi terjatuh, tanpa ia sadari. Uang yang tersisa dalam
genggamannya hanya tinggal Rp 1000, padahal ongkos angkot Rp 3000 sekali naik.
Sisi
berusaha mencari di sekitar jalan yang dilaluinya. Tak lama, Sisi melihat
seorang nenek yang sedang membungkuk memungut selembar uang dua ribuan dan
memasukan ke kantongnya. Sisi hanya pasrah melihat kejadian itu, dan memilih kembali
ke halte untuk naik angkot. Walau kesal, Sisi tidak mungkin untuk marah, karena
memang ia lalai. Sisi bertekad akan menggunakan dompet kecil agar uang ongkos
angkotnya tidak tercecer lagi.
**
Itulah sekelumit pelajaran yang Sisi dapatkan saat naik angkot ke sekolah. Sisi senang karena plihannya naik angkot itu ternyata membuatnya mendapat banyak pelajaran berharga. Sesuatu yang mustahil, ia dapatkan jika ia tidak pernah memulai memberanikan diri naik angkot sendiri. Hem, kelak setelah angkot, Sisi juga mau coba moda transportasi lainnya seperti: bis Trans-Jakarta, MRT, dan commuter line. Kalau perlu kapal laut dan juga pesawat terbang. Sepertinya seru, ya! Bagaimana menurut teman-teman?
***
*Praktisi Perlindungan Anak dan Literasi Media
*Sumber ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/305330049748930643/
Komentar
Posting Komentar