Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih berada di dalam kandungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang 34 tahun 2014). Anak merupakan asset bangsa. Merekalah yang kelak akan mewarisi bangsa Indonesia, dan duduk menjadi pemimpin dan pengelola bangsa ini. Untuk itu, tumbuh kembang anak penting untuk menjadi perhatian semua pihak, khususnya orang tua atau keluarga. Hal ini terutama agar anak dapat dilindungi oleh orang-orang di sekitarnya sehingga tidak mengalami gangguan yang menghambat tumbuh kembang mereka secara optimal seperti kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah lainnya. Jangan sampai karena ketidaktahuan kita sebagai orang tua justru membuat anak dalam kondisi yang membahayakan. Berikut ini pencegahan kekerasan pada anak berbasis keluarga yang telah saya rangkum untuk Anda. Semoga bermanfaat!
Kekerasan pada Anak
Pengertian
kekerasan pada anak menurut
Undang-Undang Perlindungan anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,
seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum (Pasal 1 angka 15a,
Undang-Undang No.35/2014 tentang Perlindungan Anak).
Termasuk
dalam kategori kekerasan adalah perlakuan salah lainnya kepada anak (child abuse). Hal ini karena pelaku yang
biasanya merupakan orang yang terdekat dengan anak telah menyalahgunakan
kepercayaan anak kepada dirinya, kekuasaannya atas anak, dan atau posisinya
yang lebih kuat terhadap anak secara fisik, mental, maupun sosial. Umumnya
suatu tindak kekerasan disebut perlakuan salah (abusive) terhadap anak jika dilakukan oleh orang yang mempunyai
hubungan dekat dengan anak, seperti orang tua, kerabat, guru, pembina kelompok
kegiatan, atau orang dewasa lainnya yang punya hubungan dengan anak.
Bentuk-Bentuk Kekerasan
Secara umum bentuk-bentuk kekerasan
terhadap anak ada tiga, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosional/psikis, dan
kekerasan seksual. Kekerasan fisik, yaitu penggunaan tindakan yang menyebabkan
trauma fisik pada anak, seperti: cedera ringan, maupun berat, hingga meninggal
dunia. Beberapa contoh kekerasan fisik atau hukum fisik yang dilakukan kepada
anak baik laki-laki maupun perempuan antara lain: memukul, mencubit, menampar,
menyabet, menendang, membanting, menyundut dengan benda panas, menjepit, menusuk,
menjemur, menggantung, merendam, maupun pemberian beban fisik yang melampaui
kewajaran atau kemampuan anak sehingga membahayakan anak.
Sementara
itu, kekerasan emosional/psikis yaitu tindakan yang menyebabkan trauma batin/
psikis pada anak, seperti: mengatakan bodoh, nakal, tidak tahu diri, dan juga
perlakuan diskriminatif serta pemberian stigma negatif lainnya yang membuat
anak menjadi tertekan dan rendah diri. Selain itu, membuat anak menjadi takut
atau cemas atau sedih dengan cara memelototi, membentak, mengancam,
menakut-nakuti, juga termasuk kekerasan psikis. Saat anak dibatasi aksesnya pengetahuan
atau kebenaran, dikekang tidak boleh berteman atau berinteraksi dengan
teman-temannya, dibohongi, maka dapat juga dikategorikan sebagai kekerasan
psikis. Sebagai tambahan catatan untuk Anda, meskipun dalam tulisan ini
kekerasan fisik dan kekerasan psikis di ulas terpisah, umumnya kekerasan psikis
hampir selalu menyertai setiap kekerasan fisik dan kekerasan seksual terhadap
anak.
Adapun
yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap tindakan yang ditujukan
pada anak (baik anak laki-laki maupun permpuan) dengan maksud-maksud
kepentingan atau bernuansa seksual. Bentuknya dapat berupa tindakan fisik
seperti perkosaan, hubungan seksual (persetubuhan), meraba bagian-bagian tubuh
yang sensual; maupun non fisik yang menyasar anak seperti penggunaan kata-kata
dan gerakan yang bernuansa seksual terhadap anak dan/atau melibatkan anak dalam
pembuatan atau membuat anak terpapar pornografi. Dikatakan sebagai kekerasan
seksual, karena tindakan-tindakan tersebut seringkali melibatkan paksaan,
tekanan, ancaman, bujuk rayu (grooming),
dan tipuan yang memanfaatkan kelemahan dan keluguan anak untuk kepentingan
seksual pelaku.
Dampak Buruk Kekerasan terhadap Anak
Setiap
jenis kekerasan dan perlakuan salah tehadap anak memiliki dampak buruk.
Seberapa berat dampak buruk itu, tergantung pada beberapa hal, seperti
intensitas tindak kekerasan yang terjadi, hubungan pelaku dengan anak, kondisi
anak (tingkat kematangan, kesehatan, daya tahan mental anak), pengalaman anak
sebelumnya, dan juga respon serta penanganan/dukungan awal yang diterima anak
setelah kejadian. Secara umum, akibat buruknya dapat dikategorikan menjadi
tiga, yaitu:
a. Gangguan fisik dan kesehatan.
Kekerasan fisik dan kekerasan seksual memiliki dampak langsung dan juga yang
berjangka panjang secara fisik, seperti misalnya jatuh sakit, kehilangan atau
melemahnya kemampuan organ tubuh tertentu, kerusakan indera, hingga kecacatan.
Untuk kekerasan seksual dapat mengakibatkan anak mengalami kerusakan fungsi
reproduksi, komplikasi akibat kehamilan beresiko. infeksi Penyakit Menular
Seksual (PMS), HIV/AIDS. Kekerasan psikis, terutama yang terjadi secara
berkepanjangan, juga dapat mengakibatkan munculnya gangguan fisik dan kesehatan
pada anak, seperti: insomnia atau gangguan tidur, keluhan-keluhan somatik atau sakit
badan, sakit kepala, gangguan pencernaan, hingga gangguan perkembangan otak yang
membuat kemampuan berbahasa, intelektual dan motorik terganggu dan tidak dapat
diperbaiki.
b. Gangguan psikis/emosional. Semua
jenis kekerasan (fisik, psikis, seksual, maupun perundungan) memiliki dampak
buruk terhadap keadaan psikis atau emosi anak, apalagi jika terjadi dalam waktu
yang lama. Adapun dampak kekerasan secara psikis/emosional antara lain: takut,
sedih, marah, tak berdaya, malu, kecewa, terhina, merasa rendah, frustrasi,
cemas, bingung, merasa kotor, dan lain sebagainya. Jika terjadi berlarut-larut,
anak akan menjadi rendah diri atau kehilangan percaya diri, sulit merasa aman,
mudah curiga, mudah marah dan agresif, sulit konsentrasi dan berpikir, mencari pelarian
(obesitas, narkoba, alkohol, seks bebas/pornografi), hingga dorongan untuk
bunuh diri.
c. Gangguan/hambatan secara sosial. Kekerasan terhadap anak juga memiliki dampak buruk terhadap bagaimana anak beradaptasi di kehidupan sosialnya, seperti: tidak bersemangat sekolah, mudah menyerah dan putus asa, atau cengeng, anak senang menyendiri, dan menjauh atau menghindari kontak dengan orang lain, atau tidak mempunyai teman bermain. Selain itu, dampak secara sosial bisa juga sebaliknya, yaitu anak menjadi agresif, suka menipu dan berpura-pura, tidak peduli bisa mencederai atau merugikan orang lain. Gangguan secara sosial ini juga membuat anak sulit mempercayai orang lain dan/atau menjalin kedekatan hubungan, sulit berprestasi, menghindari tantangan/kesempatan, dan sulit berempati dan memahami kesulitan orang lain.
Pencegahan Kekerasan
Untuk
pencegahan kekerasan terhadap anak, Anda dapat mengantisipasinya bila kejadian
tersebut terjadi di rumah maupun di luar rumah. Hal ini mengingat, anak dalam
aktivitasnya tidak selalu melakukannya di rumah, namun juga di luar rumah.
Untuk pencegahan di dalam rumah Anda sebagai orang tua maupun jika anak
dititipkan kepada pengasuh (cares givers),
peran Anda sangat penting untuk melakukan upaya pencegahan kekerasan di dalam
rumah atau dalam lingkungan keluarga. Adapun caranya, adalah sebagai berikut:
· Mampu menjadi contoh/teladan di rumah
dalam berkata-kata dan bertindak dengan penuh kesabaran dan kasih sayang tanpa
menggunakan kekerasan, baik terhadap anak maupun terhadap anggota keluarga
lainnya
·
Memahami tumbuh kembang dan perilaku anak
sesuai usianya, termasuk apa yang dapat menjadi sumber gangguannya.
·
Menyadari diri sebagai pihak yang juga
berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap anak, sehingga mau berlatih
mengelola emosi dalam mengasuh anak.
·
Mau terus belajar cara berinteraksi dan
membangun disiplin anak tanpa kekerasan (disiplin positif)
·
Membiasakan komunikasi terbuka dengan anak
dan menjadi pendengar yang baik.
·
Mengenalkan anak tentang kesehatan
reproduksi termasuk mengenali bagian-bagian tubuhnya serta fungsi bagian tubuh
tersebut.
·
Memberikan pengertian tentang bahaya
pornografi sesuai usia termasuk menyampaikan sentuhan yang harus dihindari oleh
anak-anak.
·
Ajarkan anak untuk bersikap asertif yaitu
mampu menolak dan mengatakan TIDAK saat menerima perlakuan buruk maupun
sentuhan yang tidak nyaman
·
Ajarkan anak untuk berani meminta bantuan,
serta untuk tidak takut memberitahu orang tua atau guru jika terjadi kekerasan
kepadanya, termasuk kekerasan seksual.
Adapun untuk pencegahan
kekerasan terhadap anak yang terjadi di luar rumah, yang bisa Anda lakukan,
adalah sebagai berikut:
·
Jalin komunikasi dengan guru untuk
mengetahui perkembangan anak di sekolah.
·
Aktif dan terlibat dalam kelas pengasuhan
di lingkungan masyarakat untuk saling belajar dan mendukung antara sesama orang
tua/pengasuh (baik aktif secara langsung di sebuah komunitas, maupun secara
daring).
·
Bersama anak, sepakati cara untuk orang
tua/pengasuh bisa tahu keadaan anak, dan anak bisa dengan mudah menghubungi
orang tua/pengasuh, termasuk saat anak berselancar di dunia maya
·
Ketahui tempat-tempat, orang, kegiatan,
dan waktu-waktu yang berisiko bagi anak di sekitar rumah, lingkungan, sekolah,
dan tempat anak-anak berkegiatan, termasuk situs-situs internet yang
berbahaya/bermasalah bagi anak.
·
Ajak warga sekitar, dan minimal RT/RW
untuk membuat sistem pemantauan anak dan pelaporan kejadian untuk kelompok
masyarakat sekitar, misal melalui grup WA warga.
Demikian
sekelumit pengetahuan tentang kekerasan terhadap anak dan pencegahannya. Kita
tentu berharap kekerasan ini tidak terjadi kepada anak kita. Namun, mencegah
terjadinya kekerasan terhadap anak tentu sebuah langkah yang bijak. Semoga
tulisan ini bermanfaat untuk Anda, dan selamat mencoba!
*Praktisi Perlindungan Anak dan Literasi Media
* Sumber ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/578923727119044788/
Komentar
Posting Komentar